SadarSejenak Logo
Kembali ke semua tulisan

Saat Kamu Terlalu Sibuk Menjadi "Baik", Sampai Lupa Menjadi Diri Sendiri

Diterbitkan 3 August 2025
4 mnt baca
Saat Kamu Terlalu Sibuk Menjadi "Baik", Sampai Lupa Menjadi Diri Sendiri

Ada lelah yang tidak bisa dijelaskan dengan kata “capek”.
Bukan karena kurang tidur. Bukan juga karena kerjaan yang menumpuk.
Tapi karena terlalu sering memaksa diri… untuk jadi "baik".

Kamu selalu ada saat orang lain butuh.
Mengiyakan permintaan, bahkan saat tubuhmu butuh istirahat.
Menjaga sikap, meredam emosi, tersenyum sopan, meski hatimu rasanya ingin pergi.

Lama-lama kamu mulai bertanya:

"Kenapa aku merasa kosong, padahal aku sudah melakukan semuanya dengan benar?"

Banyak dari kita tumbuh dengan harapan untuk jadi anak yang patuh, teman yang pengertian, pasangan yang dewasa.

Sampai tanpa sadar, hidup kita dipenuhi kata “iya” yang tidak tulus,
dan ekspresi ramah yang lebih mirip topeng daripada wajah sendiri.

Tulisan ini bukan untuk menyalahkan kebaikan.

Tapi untuk mengajakmu bertanya lebih jujur:
"Apakah selama ini aku terlalu sibuk jadi baik, sampai lupa jadi diriku sendiri?"

Kebaikan yang Terlalu Mahal Harganya

Kita dibesarkan dengan banyak pesan baik:
“Jangan egois.”
“Berbagi itu penting.”
“Utamakan orang lain dulu.”
Dan memang, dunia butuh lebih banyak kebaikan.
Tapi kadang… tanpa sadar, kebaikan itu jadi beban.

Kamu jadi orang yang sulit berkata “tidak”,
karena takut mengecewakan.
Kamu selalu siap membantu,
bahkan saat kamu sendiri sedang butuh pertolongan.
Kamu mendengarkan semua cerita,
tapi tak tahu ke mana harus bercerita.

Pelan-pelan kamu mulai kehilangan suara sendiri.
Bukan karena tidak punya,
tapi karena terlalu sering mendahulukan suara orang lain.

Dan tanpa disadari,
kebaikan yang kamu tunjukkan ke luar, mulai jadi pengkhianatan kecil ke dalam.

Karena tidak semua kebaikan itu murni.
Ada yang lahir dari ketulusan.
Tapi ada juga yang tumbuh dari rasa takut:
takut ditolak, takut dibilang “keras kepala”,
takut dianggap egois.

Maka penting sekali untuk bertanya:
"Aku sedang jadi baik, atau sedang berusaha disukai?"

Sebab kalau kebaikan membuatmu kehilangan hubungan dengan diri sendiri,
mungkin sudah waktunya untuk berhenti sejenak… dan menata ulang niat.

Ketika Kebaikan Menjadi Bentuk Pelarian

Ada kalanya… kita terlalu sibuk jadi “baik” karena itu cara paling aman untuk diterima.

Kamu bantu teman, kamu temani siapa pun yang butuh, kamu iya-kan semua ajakan, padahal jauh di dalam, kamu lelah. Tapi kamu terus berjalan. Terus tersenyum. Karena diam-diam… ada rasa takut kalau kamu berhenti, orang-orang akan pergi.

Dan itulah yang menyakitkan:
kamu jadi baik bukan karena ingin,
tapi karena takut ditinggalkan.

Kamu mencintai semua orang,
tapi lupa bertanya: “Siapa yang benar-benar mencintaiku kembali?”

Kamu sibuk memenuhi ekspektasi orang,
tapi lupa: “Apa sebenarnya yang aku butuhkan?”

Tanpa sadar, kamu menjadikan “kebaikan” sebagai pelindung.
Kamu sembunyi di baliknya.
Karena kelihatan kuat dan manis itu lebih mudah…
daripada bilang, “Aku capek jadi penopang semua orang.”

Kalau kamu merasa seperti itu, kamu nggak salah.
Kamu manusia.
Dan menjadi manusia berarti… punya batas.

Boleh kok kalau kamu ingin berhenti sejenak.
Boleh bilang, “Hari ini aku ingin memilih diriku dulu.”

Sebab memilih diri sendiri bukan berarti kamu egois.
Itu artinya: kamu mulai pulang. Ke rumah yang namanya diri sendiri.

Diri Sendiri yang Sering Tertinggal

Lucu, ya…
kita bisa begitu perhatian pada orang lain,
tapi sering lupa memerhatikan diri sendiri.

Kita tahu kapan teman sedang sedih.
Kita tahu apa yang dibutuhkan pasangan, keluarga, atasan.
Tapi ketika ditanya:
“Kamu sendiri, gimana kabarnya?”

Seringnya… kita bingung jawabnya.

Karena diri sendiri sudah lama tidak disapa.

Sudah lama tidak ditanya:

“Apa kamu bahagia?”
“Apa kamu masih nyaman dengan semua ini?”
“Apa ini masih kamu banget, atau cuma kamu yang berusaha bertahan?”

Dan saat akhirnya semua kesibukan mereda,
kita duduk sendiri di kamar…
dan tiba-tiba saja ada rasa kosong yang diam-diam menyentuh.

Kosong, karena terlalu lama menjadi versi yang orang lain butuhkan.
Kosong, karena kita terus berlari,
tapi lupa kemana dan untuk siapa.

Padahal, diri kita pun ingin dijemput.
Dipeluk. Dipahami. Didengar.

Mungkin sudah waktunya kamu mulai menoleh ke dalam.
Bukan untuk menyalahkan, tapi untuk menyapa.
Bukan untuk langsung tahu jawabannya,
tapi untuk mulai jujur tentang perasaan yang selama ini kamu simpan sendiri.

Karena perjalanan jadi “baik” tidak harus meninggalkan siapa pun—termasuk dirimu sendiri.

Mulai Pulang ke Diri Sendiri (dan Tetap Jadi Baik, Tapi dengan Cara yang Baru)

Menjadi “baik” tidak harus berarti mengabaikan suara hatimu.
Tidak harus selalu berkata "iya" saat hatimu ingin berkata "tidak".
Tidak harus selalu kuat, selalu ada, selalu memenuhi harapan semua orang.

Karena… menjadi baik juga bisa berarti:

  • Menjaga batasan sehat agar tidak kelelahan.

  • Mengatakan yang sebenarnya meski orang lain kecewa.

  • Menghargai waktumu, tenagamu, dan emosimu sebagai sesuatu yang berharga.

Pulang ke diri sendiri bukan tentang menjadi egois.
Tapi tentang mengakui bahwa kamu juga manusia.
Kamu juga berhak merasa, butuh istirahat, dan punya ruang untuk menjadi apa adanya.

Menjadi baik itu penting.
Tapi menjadi utuh—itu jauh lebih penting.

Bayangkan kamu merawat sebuah taman.
Jika kamu terus menyirami taman orang lain,
tapi lupa menyiram tamanmu sendiri…
maka lama-lama, kamu akan kehabisan air.

Dan saat kamu kembali melihat ke dalam,
yang tersisa hanya tanah kering dan bunga-bunga yang layu.

Maka mulai hari ini, kamu boleh:

  • Menolak dengan hormat.

  • Mengutamakan waktu untuk menyendiri.

  • Menjawab pesan nanti, setelah kamu tenang.

  • Bertanya ke diri sendiri sebelum menjawab orang lain.

Karena hanya ketika kamu utuh,
kebaikanmu tidak menjadi beban.
Tapi menjadi cahaya yang alami—tulus, dan penuh dari dalam.

Kamu tidak harus berhenti jadi orang baik.
Tapi kamu boleh mulai belajar jadi baik…
tanpa harus kehilangan dirimu sendiri.

Dan jika hari ini kamu merasa lelah,
mungkin bukan karena kamu “terlalu sensitif” atau “terlalu drama”…
tapi karena kamu terlalu lama menunda untuk pulang ke rumah:
ke dalam dirimu sendiri.

Terima kasih sudah membaca sampai sini.
Semoga tulisan ini jadi ruang kecil untukmu menyadari bahwa kamu penting—bukan karena kamu berguna untuk orang lain, tapi karena kamu berhak hidup utuh… sebagai dirimu, yang sungguh-sungguh.

Artikel Terkait